Belajar Usaha Kiridit (Kredit) dari Orang Tasikmalaya



Ditulis oleh : Usman Kusuma

Ini sisi lain dari daerah asalku Tasikmalaya. Siapa yang akan membantah bahwa Kota/Kabupaten Tasikmalaya dikenal dengan istilah Kota santri, kota seribu mesjid dan seribu pesantren. Bahkan Tasikmalaya termasuk daerah yang dikelompokan sebagai daerah serambi Mekah, sebagaimana Nanggroe Aceh Darussalam. Bersama Garut, Cianjur, Tasik juga bergeliat dengan gerakan perda-perda syari’ah nya, yang mengatur tentang tata nilai sosial kemasyarakatan yang berlandaskan syari’at Islam, meskipun kenyataannya hal tersebut masihlah diatas kertas, dalam implementasinya masih jauh, karena mau membuat peraturan bagaimanapun tetap saja harus mengacu pada aturan positif yang berlaku di republik ini. Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, NKRI plus Tap MPR, UU, Perpu, PP, Perpres, Permen, dan seterusnya hingga Perda yang menjadi instrumen hukum dalam berbagai kehidupan masyarakat.

Masyarakat Tasikmalaya memang dikenal religius. Banyak ulama-ulama besar lahir dari daerah yang berada di Kaki Gunung Galunggung ini. Sehingga tidaklah heran jika wacana keagamaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan geliat masyarakat santri akan dengan sangat cepat direspon oleh pemerintah. Cerita kelam yang pernah terjadi karena ketidaksigapan negara dalam menyikapi gerakan masyarakat santri dan kalangan pesantren ini adalah peristiwa kerusuhan 26 Desember 1996. Dimana arogansi aparat kepolisian kala itu yang menyiksa salah seorang ustad di pesantren merembet menjadi huru-hara yang mengarah ke SARA.

Jika melihat kajian sosiologis menyangkut bagaimana kuatnya pemahaman keagamaan masyarakat Tasikmalaya, maka sebenarnya kita akan menemukan ragam kultur keagamaan dan juga karakter pribadi yang khas. Termasuk menyangkut kegigihan dan jiwa wirausahanya. Salah satunya adalah jiwa merantaunya. Orang Tasik dikenal diperantauan sebagai Tukang Kiridit (kredit), atau sebagai penjaga WC Umum (saya pernah mengangkat tema ini dalam Tulisan berjudul “Kiarajagkung, Kampung Milyarder WC Umum). Nah tentang usaha kredit inilah yang menarik saya untuk mengeksplorasi dari sisi pemahaman syari’ah dan fenomena sosiologis hari ini.

Antara Tukang Kiridit dan Leasing

Saat ini di Tasikmalaya menjamur usaha penjaminan kredit kendaraan bermotor (leasing), bahkan ada juga kredit pinjaman uang (dikenal dengan Kosipa). Tentang leasing ini pun saya telah menulisnya dalam tulisan di Kompasiana, diawal-awal saya gabung menjadi member, dengan judul Tulisan “Leasing, Malaikat Penolong Atau Pencabut Nyawa”. Leasing dan Kosipa ini berkembang dengan pesatnya, bahkan bagi para pengusaha penjaminan Kredit, Tasikmalaya itu ibaratnya surganya Leasing. Namun demikian saat ini mulai banyak aksi demonstrasi dari kalangan ormas keagamaan, kepemudaan dan LSM yang mulai mempertanyakan dan mempermasalahkan keberadaan leasing dan Kosipa ini. Mereka menganggapnya sebagai rentenir yang menyengsarakan ekonomi rakyat. Terlebih banyak terjadi aksi pengambilan paksa objek kredit kendaraan yang macet dengan menggunakan debt collector pihak ketiga dengan cara-cara yang semi intimidasi. Hal inilah yang menimbulkan gejolak sosial selanjutnya.

Usaha Kiridit (kredit) bagi orang Tasik memang sudah menjadi trade mark, bahkan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, saat ini barangkali sudah sampai pada generasi ketiga. Semenjak tahun 1950 orang Tasik banyak yang merantau ke daerah-daerah di luar Tasikmalaya, terutama ke pusat-pusat ibukota provinsi baik di Jawa maupun diluar Jawa. Pola usahanya sangatlah sederhana. Mereka keliling keluar masuk pemukiman padat penduduk dengan berjalan kaki, atau naik sepeda dengan membawa buntelan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti Kompor, piring, termos, baskom, dan ragam alat rumah tangga lainnya, yang biasanya dibutuhkan oleh kalangan Ibu di dapur.

Mereka melakukan transaksi atas dasar persetujuan harga berikut jangka waktu pelunasan, bisa harian, atau mingguan. Margin keuntungannya tentu telah diperhitungkan oleh tukang kredit dengan terlebih dahulu mereka menjalin kemitraan bisnis dengan toko yang menyediakan kebutuhan barangnya, plus kesepakatan dengan konsumen untuk membayar berapa cicilan perhari dan berapa lama jangka waktunya. Sambil menarik tagihan harian mereka sambil memperluas market, mereka setiap hari membawa barang dagangannya, untuk dapat terus menambah konsumen kreditnya. Komunikasi para Tukang Kiridit (kredit) urang Tasik ini memang sangat lihai, khas dan familiar, penuh nuansa kekeluargaan. Bahkan tak jarang timbul juga sisi negatifnya, bahwa satu dua kasus si Tukang Kiridit berhasil menaklukan hati anak konsumennya. Di Kampung saya, ada anak tukang kredit yang biasa berganti shift dengan bapaknya, mendapatkan istri dari keluarga konsumen langganannya.

Usaha kredit sudah sangat familiar bagi orang Tasik. Jika kaum lelakinya menjalankan usaha kredit di negeri rantau, maka kalangan perempuannya juga tak kalah aksi. Mereka juga menjalankan usaha kredit, terutama pada kebutuhan yang sifatnya assesoris perempuan, pakaian, celana, sepatu, sandal dll. Dan masyarakat Tasikmalaya pada umumnya, sebenarnya memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap praktik kredit seperti ini. Seolah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa saja sebagai salah satu bentuk usaha. Bagi mereka yang menjalankan usaha Kiridit (kredit), mereka juga tak memiliki kekhawatiran dan beban psikologis secara agama, para konsumennya juga sepertinya merasa sangat terbantu, karena rata-rata konsumen kiriditnya urang tasik adalah kalangan menengah ke bawah.

Namun bagaimanakah sesungguhnya syari’at agama memandang praktik usaha kredit itu? Jika kita mau mengacu pada aturan syari’ah apakah masuk kategori praktik riba ataukah tidak?. Nash Al-Qur’an menunjukan pada kita sebuah prinsip transaksi jual beli “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS. An Nisa’ : 29). Kajin syari’at seputar usaha jual beli kredit ini memiliki berbagai tingkatan hukum, ada yang menghukuminya sebagai praktik riba yang haram, tapi ada juga pendapat ulama yang memperbolehkannya. Tergantung bagaimana transaksinya itu dijalankan.

Kemumuman penafsiran terhadap ayat tersebut diatas mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini. Hal ini ditegaskan pula dalam sebuah Hadits Rosululloh : Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh datang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”(HR. Bukhori 2241, Muslim 1604). Tukang kredit Urang Tasik senantiasa memakai tas kecil di pinggangnya, dan tentu senjatanya adalah buku kecil dan bolpoint. Mereka selalu menjalankan prinsip catat mencatat dalam hal kesepakatan transaksi berikut penagihan rutinnya. Hal ini juga mencerminkan perintah Agama sebagaimana diungkap dalam firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”(QS. Al Baqoroh : 272).

So, Tidaklah heran, Urang Tasik Berjaya dalam hal usaha Kiridit (kreditnya) karena mereka tidak menyertai cara mereka berusaha itu dengan pola-pola yang dilarang oleh agama, yaitu riba yang memberatkan. Orang tasik diterima secara baik oleh masyarakat dimanapun dia tinggal, termasuk menjalankan usaha kreditnya, karena mereka berusaha dengan memegang prinsip silaturrahmi, membantu, dan tak merugikan konsumen. Oleh karena itulah mengapa usaha kiridit orang Tasik, di daerah sendiri maupun diluar Tasik dapat diterima dengan baik.

Bandingkan dengan usaha-usaha perkreditan zaman sekarang, Leasing dan Kosipa, mengapa mereka mendapatkan stigma rentenir yang merusak ekonomi masyarakat, karena mereka menjalankan bisnisnya dengan perhitungan keuntungan yang berlebihan, memberatkan dan tak rasional secara hitung-hitungan ekonomi. Mereka seenaknya mematok bunga kreditnya melebihi batas kewajaran hukum syari’at dan hukum feducia. Bunga kredit konvensional yang mencapai yang diatas rata-rata, yang pada akhirnya banyak mencekik para konsumennya. Hingga kesan yang muncul dari model kredit tersebut adalah praktik rentenir. Jadi kalau mau belajar bagaimana usaha kredit yang baik, maka belajarlah pada Tukang Kiridit Urang Tasik. Wallahu A’lam.

sumber : http://ekonomi.kompasiana.com


0 comments:

Post a Comment